MAX TIMISELA

Nyaris Jadi Warga Eropa
Max Timisela adalah figur unik dalam sejarah sepakbola Bandung. Berdarah Maluku tapi ia lahir di Cimahi. Dan meski namanya sangat jauh dari aroma Pasundan, ia menyumbangkan sebagian besar hidupnya untuk Persib. Di balik sosoknya yang tidak sunda, ia merasa sangat nyunda. Lewat Persib, nama Max pernah melambung. Dan karena Max, nama Persib sempat pula mengapung.
Max mengalami puncak karir di sebuah masa ketika Persib berada dalam puncak popularitas sebagai klub. Namun, bukan itu yang membuat nama Max tembus hingga level nasional, bahkan internasional.
Adalah anugerah alam yang mebuat Max pernah dianggap sebagai salah satu pemain terbaik di tanag air. Ia memang layak menyandang predikat itu. Max muda punya segalanya untuk jadi pemain bintang. Bakat luar biasa yang melekat pada dirinya, dilengkapi dengan kebrilian otaknya dalam mengolah si kulit bundar.
Modal itulah yang membuat karir bolanya menggelinding lancar, mulai dari Persib remaja hingga tembus ke tim nasional. Max mencapai karir pada pertengahan 60-an. Saat itu ia bukan hanya pemain bintang untuk pasukan Pangeran Biru, tapi juga menjadi salah satu ruh tim Merah Putih.
Max lahir di jaman yang tepat. Di Persib,  ia punya kesempatan bermain bersama sederet bintang lokal lain. Begitu pula ketika terpanggil masuk tim nasional. Salah satu pemain kondang yang pernah menjadi rekan satu tim Max adalah Soetjipto Soentoro. Di huni pemain-pemain istimewa, saat itu tim nasional begitu disegani. Bukan hanya ditingkat Asia. Itulah yang menjadi alasan kenapa timnas begitu sering menggelar pertandingan persahabatan tingkat internasional. Salah satu tur bersama timnas paling berkesan adalah ketika menggelar lawatan ke negara-negara Eropa seperti Belanda, Jerman Barat, Bulgaria dan Yugoslavia.
Ketika bertanding ke Jerman Barat, timnas berkesempatan beruji coba melawan Werder Bremen. Ditangani pelatih legendaris Jerman, Uwe Seller, kala itu Bremen tengah merajai kompetisi Eropa. Penampilan Max saat berhadapan dengan Bremen, sempat mengundang decak kagum publik sepakbola di Jerman. Bukan hanya para penonton yang tercengang menyaksikan aksi Max, sang pelatih pun demikian. Bahkan tidak kepalang tanggung, Uwe Seller meminta Max tidak pulang lagi ke Indonesia. Bersama Soetjipto Soentoro, Max diminta untuk menetap di Jerman dan jadi pemain Werder Bremen.
Tentu saja ini sebuah tawaran yang sangat menggiurkan. Tidak semua pemain mendapat kesempatan memperkuat klub sekelas Bremen. Namun Max harus memendam hasratnya. Pemerintah, melalui Kementrian Olahraga yang kala itu dipimpin Maladi, tidak memberi exit permit. Konon, di belakangnya ada alasan politis. Padahal pada saat itu Walikota Bremen sudah melayangkan pinangan langsung kepada Walikota Bandung, Otje Djundjunan.
Walaupun kecewa karena gagal bermain di Liga Jerman, Max tetap bangga karena kemampuannya sempat memikat klub sebesar Bremen dan pelatih sekelas Uwe Seller. Max pun urung jadi warga Eropa.

Penerus Jejak Klan Timisela
Di nadinya mengalir amat deras darah sepakbola. Max Timisela memang lahir di keluarga pesepakbola. Sebelum Max muncul, tiga kakaknya yakni Fredi, Hengky, dan Pietje Timisela, sudah lebih dahulu menancapkan diri sebagai pesepakbola andal. Namun, menimba ilmu dari sang kakak sama sekali bukan pekerjaan mudah buat Max. Walaupun sering merengek-rengek minta diajarkan memainkan bola yang baik dan benar, Hengky tidak menghiraukannya.
Max memang telah lama kagum pada kakaknya. Karena itulah ia manut saja ketika disuruh jadi tukang bawa sepatu sang kakak. Dan ternyata semua itu tidak sia-sia. Gemblengan keras dari kakaknya secara tidak langsung telah mengasah bakat besar Max. Bahkan kemudian, ketika sudah jadi pemain, prestasi Max tidak kalah pamor dengan kakak-kakaknya. Dan dengan sendirinya, ia telah memelihara tradisi keluarga Timisela.

Dari Cimahi, Keliling Dunia
Jika melihat fisiknya, kesan Maluku melekat erat pada sosok lelaki yang oleh sejawatnya sering disapa Maxi ini. Namun, ketika ia mulai bertutur, sama sekali tidak ada aksen seberang dalam nada bicaranya.
Karir bola Max memang diawali di bandung, tepatnya di Cimahi. Saat duduk di bangku SMP PGRI Cimahi tahun 50-an, ia masuk ke klub UNI mengikuti kakak-kakaknya. Di klub peninggalan Belanda inilah bakat Max tergosok dengan maksimal. Dari sanalah pintu karir di Persib mulai terkuak. Maklum, saat itu nama UNI tengah harum-harumnya.
Kesempatan memperkuat Persib akhirnya muncul pada 1962. seperti kebanyakan pemain muda, bukan pekerjaan mudah buat Max untuk jadi pemain utama. Ia harus rela terlebih dahulu menghuni bangku cadangan untuk beberapa saat. Max perlu tiga tahun untuk jadi pemain utama tim Pangeran Biru. Saat itu ia bersanding dengan nama-nama kondang lainnya, seperti Risnandar Soendoro, Encas Tonif, Dedi Sutendi, Nandar Iskandar, dan beberapa nama lain.
Seiring karirnya yang cemerlang di Persib, pintu untuk memperkuat tim nasional pun perlahan-lahan mulai terbuka. Kesempatan memperkuat timnas berarti menguak pula pintu pengalaman lain buat Max. Oleh karenanya ia jadi sering bepergian ke luar negeri. Pada tahun 1965, Max mendapat kesempatan menjalani tur ke beberapa negara Eropa. Menjadi langganan tim nasional, tahun 1966 berturut-turut tampil di kejuaraan Aga Khan Cup, King’s Cup, dan Merdeka Games.

Sumber Teks: Tabloid Persib +

Tidak ada komentar:

Posting Komentar